Kandungan Makna Secara Muthobaqoh, Tadhommun dan Iltizam
Diantara kaidah tafsir yang harus
diketahui oleh seorang muslim adalah ketika ia ingin menafsirkan suatu
ayat atau suatu kata, maka hendaknya ia memperhatikan kandungan makna
suatu lafadz secara muthobaqoh, tadhommun dan iltizam, sehingga ia
dapat mengetahui kandungan-kandungan makna yang tidak disebutkan secara
tegas di dalamnya.
Pengertian Muthobaqoh, Tadhommun dan Iltizam
Penunjukan Muthobaqoh adalah penunjukan suatu lafadz pada seluruh makna yang dikandungnya, secara bersamaan atau bersesuaian, contohnya penunjukan kata rumah, mengandung arti rumah secara keseluruhan yang mencakup atap, dinding, pintu dan lain-lainnya.
Penunjukan Tadhommun adalah penunjukan suatu lafadz pada sebagian penyebutannya saja, semisal dalam penyebutan rumah hanya pada bagian atapnya saja atau dindingnya saja.
Penunjukan Iltizam adalah
penunjukan suatu lafadz pada sesuatu yang berada diluar cakupan
maknanya, akan tetapi hal tersebut merupakan konsekuensi bagi lafadz
tersebut, contohnya penyebutan rumah tadi, memberi konsekuensi
adanya pembuat rumah, adanya tukang kayu dan adanya pembuat desain rumah
dimana lafadz ini keluar dari makna rumah. Ringkasnya “pembuat rumah”
bukan termasuk di dalam cakupan rumah, namun “pembuat rumah” merupakan
hal mutlak yang harus ada untuk munculnya suatu rumah.
Kaidah ini menurut pendapat para ulama
Dalam kitab Qowaidul Hisan disebutkan bahwa,
Kaidah ini merupakan kaidah tafsir yang paling mulia dan paling
bermanfaat, karena ketika Allah memberikan suatu kata atau memilih suatu
kata pada al-qur’an, Allah mengetahui konsekuensi dari kata tersebut.
Sehingga para ulama sepakat untuk berdalil dengan konsekuensi dari suatu
lafadz yg ada pada Al-qur’an. Karena Allah Maha Mengetahui, jika
Allah memilih suatu kata, Allah mengetahui apa konsekuensinya dan apa
yang mengikuti dari kata ini. Dari hal ini, para ulama sepakat untuk bolehnya berhujjah dari konsekuensi suatu lafadz yang Allah pilih dalam Al-qur’an.
Diantara cara untuk menafsirkan
Al-qur’an adalah hendaknya seseorang mencoba untuk mengetahui
makna-makna yang terkandung dari suatu lafadz. Ketika ia telah bisa
melakukan hal tersebut dengan pemahaman yang baik, maka cobalah untuk
memikirkan hal-hal yang merupakan ketergantungan dari makna tadi, dimana
makna tersebut tidak mungkin terjadi tanpanya. Kemudian, cobalah
pikirkan apa saja yang menjadi syarat, konsekuensi dan turunan dari
makna tersebut, serta apa saja hal-hal yang membangun makna tersebut.
Sehingga
ketika seseorang telah mampu untuk menyelami kata-kata yang ada pada
Al-qur’an, maka akan terbukalah ilmu yang sangat bermanfaat dan
pengetahuan yang mulia.
Untuk mempermudah dalam pemahaman, cobalah perhatikan contoh-contoh berikut:
Di dalam Al-qur’an,
disebutkan nama-nama Allah yang Husna, yakni Ar-rohman (pengasih) dan
Ar-rohim (penyayang). Lafadz ini secara Muthobaqoh, mengandung makna,
Allah memiliki sifat kasih sayang dan luasnya kasih sayang Allah, karena
pola Fa’laan (rohmaan) mengandung makna luas. Dari hal ini kita tahu
bahwa, kasih sayang Allah sangat lah berbeda dengan kasih sayang
makhluk, dimana kasih sayang Allah adalah sesempurnanya kasih sayang.
Tidak ada sesuatu makhluk pun yang luput dari kasih sayang Allah.
Jika menilik lafadz ini secara
Iltizam, maka kita tahu, lafadz ini menunjukkan konsekuensi, bahwa Allah
itu hidup dengan hidup yang sempurna. Karena tidak mungkin kasih sayang
itu ada, jika Allah itu tidak ada. Begitu pula, konsekuensi dari lafadz
ini adalah Allah itu mempunyai kuasa yang sempurna, mempunyai ilmu yang
meliputi segala hal, mempunyai kehendak yang pasti terjadi, dan
menunjukkan suatu dzat yang Maha Hikmah. Tidaklah mungkin Allah
mempunyai kasih sayang yang luas, jika tidak mempunyai kuasa untuk
melakukan kasih sayang. Tidak mungkin Allah mempunyai kasih sayang, jika
tidak mempunyai ilmu, siapa saja orang yang pantas untuk dikasihi.
Tidak mungkin Allah mempunyai kasih sayang, jika Allah tidak mempunyai
kehendak yang pasti terjadi. Karenanya, lafadz kasih sayang tidak akan muncul kecuali dengan adanya sifat-sifat tersebut dan tidak ada kasih sayang tanpa itu semuanya.
Contoh yang lainnya adalah firman Allah ta’ala
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil.” (An-nisa:58)
Pada ayat ini, terdapat dua kewajiban yang harus dilaksanakan, yakni menunaikan amanat dan berhukum dengan adil.
Jika
kita menilik makna ini satu persatu secara Iltizam, maka kita akan
tahu, bahwa menunaikan amanat adalah suatu hal yang wajib untuk
dikerjakan, dan kita tidak boleh meremehkan atau berlebih-lebihan dengan
amanat tersebut.
Ketika seseorang diberi amanat
untuk menjadi pejabat, maka hendaknya ia melaksanakan dengan
sebaik-baiknya, dengan tidak meremehkan atau berlebih-lebihan dengan
amanat tersebut. Sehingga ketika menjadi pejabat, maka tidak boleh ia
meremehkannya dengan tidak bekerja dengan baik, dan tidak boleh
berlebih-lebihan dengan menggunakan kekuasaan jabatan, untuk melakukan
hal yang tidak semestinya.
Dari
hal ini, sikap meremehkan dan sikap berlebih-lebihan dalam menuaikan
suatu amanat adalah konsekuensi yang harus dikerjakan oleh seseorang di
dalam menunaikan amanat, karena tidak mungkin seseorang dapat menunaikan
amanat dengan baik, dengan melakukan hal tersebut (meremehkan atau
berlebih-lebihan).
Adapun makna yang kedua,
menunjukkan bahwa konsekuensi dari seseorang yang ingin menghukumi
dengan adil adalah ia harus mengilmui tentang hal-hal tersebut. Seorang
hakim yang ingin menghakimi diantara manusia baik dalam perkara yang
besar atau perkara yang kecil, maka ia wajib untuk mengetahui dan
mengilmui tentang perkara-perkara tersebut. Karena tidak mungkin
seseorang dapat berhukum dengan adil, kecuali ia mengerti akan hukumnya.
Jika ia seorang hakim atas semua
perkara, maka ia wajib mengilmui segala jenis perkara yang
diperselisihkan, begitu pula jika ia seorang hakim atas sebagian
perkara, maka ia wajib mengilmui perkara tersebut. Sehingga dari hal
ini, akan terciptalah keadilan yang diinginkan.
Berdasarkan hal ini, merupakan
dalil wajibnya seseorang untuk menuntut ilmu dan fardhu ‘ain bagi setiap
hamba. Karena Allah telah memerintahkan kita dengan perkara yang sangat
banyak serta melarang kita dengan perkara yang banyak pula. Dan telah
diketahui, tidaklah seseorang dapat melaksanakan hal-hal yang
diperintahkan serta menjauhi hal-hal yang dilarang kecuali dengan
mengetahui dan mengilmui segala perkara tersebut. Dengan kata lain,
seseorang tidak dapat melaksanakan sholat dengan baik, kecuali ia telah
mempelajari dan mengilmui sholat dengan benar. Dan tidaklah seseorang
dapat menjauhi segala larangan Allah, kecuali ia telah mengetahui dan
mengilmui apa saja hal-hal yang dilarang oleh Allah. Sungguh kita
tidak bisa membayangkan bagaimana caranya seorang yang jahil (tidak
paham) akan suatu perintah dapat mengerjakan perintah dengan baik?
Bagaimana mungkin seorang yang jahil dapat meninggalkan larangan yang ia
tidak tahu apa saja larangan-larangan Allah itu?
Contoh yang lain:
Allah telah memerintahkan kita
untuk mengerjakan hal yang ma’ruf dan menjauhi hal yang mungkar. Jika
ditinjau secara iltizam, mengandung makna perintah dalam menuntut ilmu
akan hal-hal apa saja yang disebut ma’ruf dan hal apa saja yang
dikatakan mungkar. Tidaklah sempurna melaksanakan kewajiban berupa
amar ma’ruf nahi mungkar melainkan dengan mengilmui perkara tersebut,
menunjukkan wajibnya menuntut ilmu akan amar ma’ruf nahi mungkar. Dan
perbuatan mungkar tidak bisa ditinggalkan kecuali mengilmui tentang hal
yang mungkar, maka mengilmui hal ini hukumnya wajib.
Maka
ilmu tentang iman dan amal sholeh harus didahulukan dari mengerjakan
hal tersebut. Al-bukhari mengatakan “bab ilmu sebelum berkata dan
berbuat” (shohih Bukhori).
Contoh lain:
Allah telah memerintahkan
kita untuk berjihad dan bersungguh-sungguh dengannya. Makna secara
iltizam menunjukkan akan perintah Allah untuk mempersiapkan hal-hal yang
harus dilakukan sebelum melakukan jihad, seperti mengilmui tentang
jihad, syarat-syaratnya, kemudian belajar tentang cara memanah,
menembak, mengendarai kendaraan perang serta mempelajari alat-alat
perang, yang mana tidak akan bisa terlaksana jihad dengan
sungguh-sungguh melainkan dengan hal tersebut.
Hal ini juga ditunjukkan secara muthobaqoh dalam surat Al-anfal ayat 60, Allah berfirman :
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّااسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”
Kata “quwwah” secara muthobaqoh
menunjukkan akan adanya kekuatan secara keseluruhan, baik kekuatan
batin, kekuatan badan, pikiran, politik dan lainnya.
Dari hal ini, maka sungguh
sesatlah orang-orang yang selalu menggembor-gemborkan untuk melaksanakan
jihad, orang yang selalu bersemangat untuk melakukan jihad, tapi mereka
tidak punya ilmu tentang jihad, mereka tidak mempunyai kekuatan dan
mereka tidak mengetahui bagaimana cara berjihad. Padahal perintah Allah
untuk melakukan jihad tidak hanya semata-mata perang biasa, namun perang
yang prajuritnya mempunyai ilmu bagaimana cara berperang, bagaimana
cara menembak dan hal-hal yang diperlukan dalam perang. Sesat dalam beramal berakibat kebinasaan dan hanya kesia-siaan belaka. Maka berilmulah sebelum berkata dan berbuat.
Dan contoh-contoh yang lain sangat banyak.